Ulama adalah Pewaris Para Nabi

“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kalian beberapa derajat, dan Dialah yang Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah:11)
Biografi Ulama Fatwa-fatwa Ulama Ulama Ahlul Hadits

makahDi antara kebiasaan jama’ah haji Indonesia sepulang dari haji adalah mengganti nama yang menurut mereka lebih Islami. Bagaimana sebenarnya hukum permasalahan ini? Simak fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta’ ketika ada sebuah pertanyaan yang diajukan kepadanya:

Apa hukum mengganti nama sepulang dari haji sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan jama’ah haji Indonesia? Mereka mengganti nama-nama mereka ketika di Makkah Al-Mukarramah atau di Madinah Al-Munawwarah, apakah amalan seperti ini sunnah atau bukan?

Jawab:

Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengganti nama-nama yang buruk dengan nama-nama yang baik. Jika penggantian nama yang dilakukan oleh jama’ah haji Indonesia itu karena faktor tersebut (mencontoh seperti yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), bukan karena selesainya mereka dari ibadah haji ataupun ziarah ke masjid Nabawi untuk shalat di dalamnya, maka ini boleh.

Adapun jika mereka mengganti nama-nama mereka itu disebabkan karena mereka sedang di Makkah atau Madinah, atau karena selesai dari pelaksanaan ibadah haji misalnya, maka ini termasuk bid’ah, bukan sunnah.

Wabillahit taufiq.

وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم

Sumber: http://www.sahab.net/   Artikel Ma’had As-Salafy Jember

Memberi Gelar Pak Haji atau Bu Hajjah

Di Indonesia biasanya orang yang sudah pernah melakukan ibadah haji, setelah pulang ke kampung halamannya langsung mendapatkan gelar “Haji/Hajjah” di depan namanya. Bagaimana sebenarnya hukum menggunakan gelar “Haji/Hajjah” dalam islam? Simak penjelasan beikut ini.

Fatwa Asy Syaikh Shalih As Suhaimi hafizhahullah [1]

Pertanyaan: Para Haji di tempat kami, apabila seorang dari mereka telah kembali (ke daerahnya) tidak rela dipanggil “Wahai fulan”, namun harus ditambah “Haji Fulan”?

Beliau menjawab: Ini perkara yang berbahaya sekali, sebagiannya menggantungkan tanda di rumahnya, biar ia dipanggil “Haji Fulan” dan meletakkan bingkai yang besar kemudian digantungkan di rumahnya, atau di setiap sisi di ruang tamu. Tidak diragukan lagi, perbuatan seperti ini tidak boleh, dan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada perbuatan riya’.

Para shahabat yang berjumlah 120.000, mereka juga telah menunaikan haji, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang digelari dengan “Pak Haji”. Na’am. [2]

Penjelasan Al Ustadz ‘Abdul Barr hafizhahullah

Pertanyaan: Bagaimana dengan orang yang digelari dengan “Haji”? Karena hal ini sudah menjadi predikat bagi orang yang sudah pernah pergi haji dan tidak mau dipanggil kecuali dengan panggilan “Pak Haji”.

Jawaban: Penting bagi kita untuk mengetahui bahwa pada dasarnya amalan yang diharapkan padanya pahala di sisi Allah, amalan yang dilakukan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah, itu harus disembunyikan. Tidak mengandung harapan untuk dipuji atau disanjung dan yang semisalnya, agar mendapatkan pahala di sisi Allah. Karena amalan yang diterima di sisi Allah, selain dia itu sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia juga ikhlas karena Allah.

Dan diantara upaya seseorang untuk menjaga keikhlasan adalah tidak mengungkit-ungkitnya dan tidak menginginkan sanjungan darinya.

Maka seorang yang pergi haji kemudian ingin dipanggil “Haji”, yang jelas dan telah dimaklumi bahwa panggilan “Haji” di sini mengandung pujian. Apalagi kalau sampai dia sudah pergi haji dan tidak mau dipanggil kecuali dengan sebutan “Pak Haji”. Dikhawatirkan gugur amalannya, tiada pahala di sisi Allah.

Ditambah lagi tidak seorang pun dari shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun tabi’in (murid shahabat), tabi’ut tabi’in (murid dari murid shahabat) dan ulama-ulama islam (yang menggunakan gelar tersebut). Kita tidak pernah mendengar Haji Abu Bakar Ash Shiddiq, Haji ‘Umar bin Khaththab, Haji ‘Ali bin Abi Thalib, Haji ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga tidak pernah mendengar Haji Imam Syafi’i, Haji Imam Ahmad. Ini adalah laqab-laqab yang tidak syar’i dan bertentangan dengan keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Wallahu ta’ala a’lam.

Penjelasan Al Ustadz Hammad Abu Mu’aawiyah hafizhahullah

Pertanyaan: Saya pernah mendengar bahwa penulisan gelar Haji di nisan tidak diperbolehkan. Apakah pernyataan itu benar? Karena kami ada niatan memberangkatkan haji bapak (mertua), namun tidak sempat karena beliau sudah berpulang sebelum kami sempat menjalankan niatan kami. Dan rencananya kami akan menghajikan beliau melalui orang lain, jadi ketika membangun makam, di nisan beliau nantinya sedah dapat ditulis gelar “Haji” di depan nama beliau. Mohon jawaban dan petunjuknya. Terimakasih.

Jawaban: Butuh kita ketahui bahwa gelar-gelar syar’i hendaknya semua berpatokan dengan Al Qur’an dan Sunnah, karena masalah penamaan termasuk masalah yang diatur oleh syari’at islam. Maka demikian pula untuk menetapkan nama syar’i juga dibutuhkan dalil dari Al Qur’an dan Sunnah.

Misalnya seorang memiliki gelar islam, dia muslim atau dia mu’min, ini jelas tidak ada masalah jika mengatakan si fulan muslim atau si fulanah muslimah, dia mu’min atau dia mu’minah. Karena ada nash tentang gelar muslim. Demikian pula para shahabat yang di Makkah yang hijrah ke madinah digelari dengan Al Muhajirun, dan para shahabat yang di madinah digelari dengan Al Anshor, ini juga ada nash dari Al Qur’an dan Sunnah.

Sekarang setelah kita pahami bahwa semua gelar seharusnya berdasarkan dalil syar’i, tentunya gelar-gelar yang berhubungan dengan agama. Adapun gelar- gelar yang tidak berhubungan dengan agama maka tidak butuh adanya keterangan dalil. Misalnya gelarnya DR, Prof, dan seterusnya. Ini tidak ada hubungannya dengan agama. Akan tetapi gelar muslim, mukmin, al muhajirun, al anshor ini berkaitan dengan agama.

Sekarang masalah gelar “Haji”, apakah dia berkenaan dengan gelar duniawiyyah ataukah berkenaan dengan gelar agama. Tentunya bisa dipastikan bahwa gelar “Haji” ini termasuk gelar-gelar yang berkaitan dengan agama. Buktinya tidak sembarang orang bisa mendapatkan gelar ini, mereka yang bergelar dengan “Haji” hanyalah mereka yang sudah mengerjakan haji di Baitullahil Haram. Maka di sini kita mengatakan bahwa “Haji” ini termasuk gelar-gelar yang berkenaan dengan agama.

Setelah mengetahui bahwa “Haji” merupakan gelar yang berkenaan dengan agama. Apakah ada dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang menerangkan gelar ini? Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di depannya ada gelar “Haji” Muhammad”? Atau misalnya, Abu Bakar Ash Shiddiq dikatakan Haji Abu Bakar, Haji ‘Umar, Haji ‘Utsman, Haji Ali dan seterusnya. Apakah ada shahabat yang mengerjakan hal tersebut? Apakah ada ulama tabi’in yang seperti itu? Apakah ada ulama tabi’ut tabi’in yang bergelar seperti itu? Maka jawabannya tidak ada sama sekali. Maka gelar “Haji” ini merupakan gelar yang tidak ada dalilnya sama sekali, tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya.

Seandainya gelar ini baik maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menggelari diri beliau dengannya, dan Nabi akan menggelari para shahabat dengan gelar “Haji” ini. Tapi tatkala tidak ada sama sekali dari mereka (yang melakukan hal tersebut) maka itu menunjukkan bahwa gelar-gelar ini tidak dibutuhkan dan tidak sepantasnya disematkan pada seseorang. Maka ini adalah masalah yang pertama, bahwa gelar “Haji” ini tidak ada landasan dalil sama sekali, sehingga tidak boleh bergelar dengannya.

Masalah berikutnya bahwa haji ini merupakan ibadah yang agung, yang dituntut untuk seseorang ikhlas di dalamnya. Dan barangsiapa yang tidak ikhlas dalam hajinya maka dia telah terjatuh ke dalam kesyirikan dan hajinya tidak sah. Sementara memberikan penamaan atau gelar-gelar “Haji” ini adalah wasilah atau sarana untuk membuka pintu-pintu riya’ atau sum’ah, ingin didengar atau diketahui kalau dia sudah haji. Dan ini akan nampak, misalnya ketika dia disebut namanya tanpa ada penyebutan “Haji” di depannya, maka dia merasa tidak enak, dia merasa kecewa dengannya, dia merasa tidak senang dengan orang tersebut.

Maka ini menunjukkan dia ada riya’, dia telah berbuat riya’ dan sum’ah pada hajinya. Maka menggelari dengan “Haji” ini membuka pintu-pintu riya’, sum’ah dan kesyirikan. Di mana seorang merasa hebat, merasa bangga, ‘ujub, merasa kagum dengan dirinya ketika dia sudah haji, atau ingin diketahui bahwa dia sudah haji. Ini semua merupakan wasilah yang bisa menghantarkan kepada kesyirikan. Dan tentunya kita tidak ingin orang tua kita yang sudah meninggal mendapatkan kesalahan karena perbuatan kita.

Kemudian masalah yang ketiga, haji itu kalah utama dibandingkan shalat, shalat jauh lebih utama dibandingkan haji. Zakat jauh lebih utama dibandingkan haji, puasa lebih utama dibandingkan haji. Akan tetapi seandainya gelar-gelar “Haji” disyari’atkan, kenapa hanya menggunakan “Haji” tidak sekalian “Shalat”? Misalnya dikatakan Haji Ibrohim, kenapa tidak dikatakan Shalat Ibrohim atau Zakat Ibrohim, padahal shalat lebih utama dibandingkan haji. Ini tentunya karena adanya status tersendiri yang disandang oleh orang yang bergelar “Haji” ini. Maka ini merupakan riya’, keinginan untuk dipuji atau ingin didengar. Maka sekali lagi hendaknya menggelari dengan gelar-gelar seperti ini, baik dia masih hidup apalagi sudah meninggal, hendaknya ditinggalkan. Karena ini tidak mendatangkan kebaikan sama sekali, justru bisa memudhorotkan dirinya dengan terjatuh ke dalam riya’ atau sum’ah atau kejelekan-kejelekan yg lain.

Adapun masalah menghajikan orang tua melalui orang lain, maka ini membutuhkan penjelasan tersendiri.
Wallahu a’lamu bish shawab.

__________________
[1] Beliau adalah seorang Pengajar di Masjid Nabawi, Madinah Nabawiyyah.
[2] Warisan Salaf

Sumber:

http://farisna.wordpress.com/ dan http://fadhlihsan.wordpress.com/