بسم الله الرحمن الرحيم
📚 Kajian Kitab Manhaj Salaf, Karya Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul Hafidzahullah
🎙┃ Ustadz Mohammad Alif, Lc. حفظه الله تعالى
🗓️┃Jum'at, 14 November 2025 M / 23 Jumadil Awal 1447 H
🕰️┃ Ba'da Maghrib
🕌┃ Masjid Al-Qomar - Jl. Slamet Riyadi No. 414 Rel Bengkong Purwosari, Solo
Ciri-ciri dakwah salaf telah dijelaskan sebelumnya:
1. Sikap loyalitas (wala'dan bara') dibangun diatas ittibâ kepada Rasulullah ﷺ.
2. Syiarnya mengikuti dan meneladani Rasulullah ﷺ.
3. Berjalan di atas Pertengahan dalam segala urusan mereka.
4. Mereka adalah orang yang Menjaga Persatuan dan Keteguhan di Atas Kebenaran.
Ciri Manhaj Salaf #5: Mereka Menyibukkan Diri untuk Menegakkan Agama dengan Mencari dan Mengamalkan Ilmu Syar’i #3
Dan Abu al-Mudzaffar al-Sam'ani - rahimahullah - berkata: "Adapun para ahli kebenaran; mereka menempatkan Al-Qur'an dan Sunnah di hadapan mereka, dan mencari agama melalui keduanya. Apa pun yang muncul dari akal dan pikiran mereka, mereka bandingkan dengan Al-Qur'an dan Sunnah; jika mereka menemukan bahwa hal itu sesuai dengan keduanya, mereka menerimanya dan bersyukur kepada Allah Ta'ala karena Dia ﷻ menuntun mereka dan memudahkan mereka untuk itu. Jika mereka menemukan hal itu bertentangan dengan keduanya, mereka meninggalkan apa yang muncul dari diri mereka dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah, serta menyalahkan diri mereka sendiri; karena Al-Qur'an dan Sunnah hanya menuntun kepada kebenaran, sedangkan pendapat manusia mungkin benar atau salah."
Dan beliau juga berkata - rahimahullah - : "Adapun ahli Sunnah - semoga Allah menjaga mereka - mereka berpegang pada apa yang disampaikan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan membuktikannya dengan alasan yang jelas dan dalil yang shahih sesuai dengan apa yang ada dalam syari'at dan apa yang disampaikan melalui riwayat".
Mereka tidak memasukkan pendapat pribadi mereka dalam masalah sifat-sifat Allah atau hal-hal lain dalam agama. Dengan cara ini, mereka mengikuti jejak salaf dan imam mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِنَّآ أَرْسَلْنَٰكَ شَٰهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا وَدَاعِيًا إِلَى ٱللَّهِ بِإِذْنِهِۦ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (Al-Ahzab 45-46).
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغْ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُۥ ۚ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Al-Ma’idah 67).
Dan beliau bersabda dalam Khutbah Wada, dan dalam berbagai kesempatan, di hadapan sebagian besar sahabat dan keluarganya: "ألا هل بلغت؟". “Bukankah Aku telah menyampaikan amanat?”
Pernyataan ini secara otentik disampaikan dari Rasulullah, Shalallahu'alaihi wasallam dalam berbagai konteks, sebagaimana pernyataan Imam, semoga Allah merahmatinya. Di antaranya adalah: kisah Ibnu al-Lutbiyyah, dari hadits Abu Hamid al-Sa'idi, yang dicatat oleh al-Bukhari dalam Kitab Pengadilan, hadits no. (7197); Khutbah gerhana, dari hadis Aisyah Radhiyallahu’anha, yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Gerhana, hadist no. (901); dan khotbah Hari Kurban, dari hadis Abu Bakar, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab Haji, hadist no. (1741), dan oleh Muslim dalam Kitab Haji Hadist No. (1679).
Di antara hal-hal yang diwahyukan kepadanya dan diperintahkan untuk disampaikan adalah masalah tauhid dan penjelasannya dengan caranya sendiri. Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkan sedikit pun dari masalah agama, aturan, asas, hukum, dan bab-babnya, tanpa menjelaskan dan menyampaikannya secara utuh dan lengkap, dan beliau tidak menunda penjelasan itu saat dibutuhkan; karena jika beliau menundanya, maka orang akan terbebani dengan sesuatu yang tidak mereka mampu.
(lihat Al-Intisar li-Ahl al-Hadits karya Abu al-Muzaffar al-Sam’ani, bi Waasithath Shounul Mantiq wa-al-Kalam (hal. 148). Juga Al-Khattabi dalam Risalah Al-Ghaniyah anil kalam bi Waasithath Shounul Mantiq wa-al-Kalam (hlm. 95-96)).
Ia juga berkata, semoga Allah merahmatinya: “Kami telah diperintahkan untuk mengikuti dan berpegang teguh pada contoh Nabi dan untuk mematuhi apa yang ia tetapkan untuk kami tentang agama dan Sunnah. Satu-satunya jalan untuk itu adalah dengan menukil dan menyampaikan berdasarkan hadits Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya dan adil dari umat ini dari Rasulullah ﷺ dan atsar para sahabatnya, dan pengaruhnya, bahwa cara akal dan kembali kepadanya serta membangun pengetahuan berdasarkan hal itu; tercela dalam syariat dan dilarang, dan kami menyebutkan posisi akal dalam syariat, serta batas yang diperintahkan syariat untuk digunakan dan yang diharamkan untuk dilampaui... (lihat Al-Intisar li-Ahl al-Hadits karya Abu al-Muzaffar al-Sam’ani, bi Waasithath Shounul Mantiq wa-al-Kalam (hal. 148).
Dan muridnya, Qiwam al-Sunnah al-Isfahani, rahimahullah, berkata: "Dan itu karena urusan agama mereka menjadi jelas bagi manusia, maka kewajiban bagi kita untuk mengikuti; karena agama memang datang dari sisi Allah Ta'ala, bukan diletakkan pada akal manusia dan pendapat mereka. Rasulullah telah menjelaskan sunnah-Nya untuk umatnya dan memperjelaskannya kepada para sahabatnya. Barangsiapa yang menyelisihi sahabat-sahabat Rasulullah dalam suatu hal dari agama, maka dia telah sesat." (Al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah (2/440).
Dan beliau berkata: "Dan kita tidak boleh menentang sunnah Nabi dengan akal; karena agama sesungguhnya adalah tunduk dan berserah diri; sebab akal yang sehat adalah apa yang membawa pada penerimaan sunnah, adapun yang membawa pada penolakan maka itu adalah kebodohan bukan akal." (Al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah (2/509).
Dari Abu al-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
منْ سَلَكَ طَريقًا يَبْتَغِي فِيهِ علْمًا سهَّل اللَّه لَه طَريقًا إِلَى الجنةِ، وَإنَّ الملائِكَةَ لَتَضَعُ أجْنِحَتَهَا لِطالب الْعِلْمِ رِضًا بِما يَصْنَعُ، وَإنَّ الْعالِم لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ منْ في السَّمَواتِ ومنْ فِي الأرْضِ حتَّى الحِيتانُ في الماءِ، وفَضْلُ الْعَالِم عَلَى الْعابِدِ كَفَضْلِ الْقَمر عَلى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وإنَّ الْعُلَماءَ وَرَثَةُ الأنْبِياءِ وإنَّ الأنْبِياءَ لَمْ يُورِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وإنَّما ورَّثُوا الْعِلْمَ، فَمنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحظٍّ وَافِرٍ. رواهُ أَبُو داود والترمذيُّ.
“Barangsiapa yang menempuh jalan yang dijalan tersebut dia mencari ilmu maka Allah akan membuat dirinya menempuh jalan diantara jalan-jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya untuk para penuntut ilmu karena suka dengan apa yang dia lakukan. Sesungguhnya seluruh makhluk di langit dan di bumi akan memohonkan ampunan kepada orang yang berilmu, termasuk ikan ditengah-tengah air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu (yang mengamalkan ilmunya) dibandingkan ahli ibadah (yang beramal tanpa ilmu) bagaikan keutamaan rembulan dimalam hari (saat bulan purnama) dibandingkan seluruh bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak dirham dan mereka mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan Tirmizi - Hassan)
Abu Hatim bin Hibban radhiyallahu 'anhu berkata: "Dalam hadits ini terdapat penjelasan yang gamblang bahwa para ulama yang memiliki keutamaan yang kami sebutkan adalah mereka yang mengajarkan ilmu Nabi ﷺ, dengan mengesampingkan semua ilmu lainnya. Tidakkah kalian lihat bahwa beliau bersabda: 'Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan kecuali ilmu, dan ilmu Nabi kita adalah sunnahnya. Maka barangsiapa yang tidak memiliki ilmu tentangnya, maka ia tidak termasuk pewaris para nabi" (Al-Ihsan bi-Taqrib Shahih Ibn Hibban (295/1, nomor 88).)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ ٱلْأَمْنِ أَوِ ٱلْخَوْفِ أَذَاعُوا۟ بِهِۦ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسْتَنۢبِطُونَهُۥ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ لَٱتَّبَعْتُمُ ٱلشَّيْطَٰنَ إِلَّا قَلِيلًا
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).(QS. An-Nisa: 83).
Ayat ini menunjukkan kewajiban untuk merujuk kepada mereka ketika muncul permasalahan dan mencari hukum dari mereka, serta meninggalkan sikap melebihi mereka dan mendahului mereka dalam hal itu.
Ayat ini menunjukkan bahwa merujuk kepada orang-orang yang mengandalkan pendapat pribadi [Ahli ra'yu] bertentangan dengan perintah Allah untuk merujuk kepada para ulama yang mengambil keputusan, karena mereka yang mengandalkan pendapat pribadi [Ahli ra'yu] tidak memenuhi syarat untuk mengambil keputusan. Oleh karena itu, mengeluarkan pernyataan dan keputusan publik tentang isu-isu besar tidak boleh dilakukan tanpa mereka, sebaliknya, perlu berkonsultasi dengan mereka, karena ini adalah hak mereka.
Syaikh Abdul Rahman bin Nasir Al-Sa'di rahimahullah berkata saat menafsirkan ayat mulia: Ini merupakan pengajaran dari Allah bagi hamba-hambanya tentang perbuatan mereka yang tidak patut tersebut, dan bahwa seyogyanya apabila datang kepada mereka suatu perkara penting dari perkara umum yang berkaitan dengan kebahagiaan kaum Mukminin atau dengan kekhawatiran yang mengakibatkan suatu musibah atas mereka, agar mereka memastikan terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan kabar tersebut, dan sebaiknya mereka menyerahkanya kepada Rasul atau Ulil Amri diantara mereka yaitu yang memilki pandangan luas, ilmu ,nasihat, kecerdasan, dan keteguhan, dimana mereka mengetahui urusan-urusan dan mengetahui kemaslahatan dan kemudharatan.
Dan bila mereka memandang bahwa menyebarkannya mengandung kemaslahatan dan semangat bagi kaum Muslimin, bahkan kebahagiaan untuk mereka serta tindakan kewaspadaan terhadap musuh-musuh mereka, maka mereka boleh melakukan hal tersebut, dan bila mereka memandang apabila hal tersebut mengandung kemaslahatan, atau ada kemaslahatan padanya akan tetapi kemudhratanya lebih bersar daripada kemaslahatannya, maka janganlah mereka menyebarkannya, karena itu Allah berfirman, “tentulah orang-orang yang ingin tahu kebenarannya (akan dapat mengetahui) dari mereka Rasul dan Ulil Amri,” maksudnya, mereka dapat menyimpulkan suatu kebenaran dengan pemikiran dan pendapat-pendapat mereka yang lurus serta ilmu-ilmu yang matang.
Ayat ini merupakan sebuah dalil bagi sebuah kaidah moral yaitu apabila terjadi suatu pembahasan dalam suatu perkara, seyogyanya perkara tersebut di serahkan kepada orang yang berhak atas perkara tersebut, dan tidak ada seorang pun yang didahulukan sebelumnya, karena sesungguhnya ia lebih dekat dengan kebenaran dan lebih dapat selamat dari kesalahan.
Ayat ini juga mengisyaratkan tentang larangan dari sikap tergesa-gesaan dan terburu-buru dalam menyampaikan inpormasi setelah mendenganrkannya, dan seharusnya dalam perkara seperti itu perlu berpikir sebelum membicarakandan membahasnya, apakah hal ini menyimpan kemaslahatan hingga ia melakukannya ataukah hingga ia menahannya.
Kemudian Allah berfirman, “kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepadamu,”yaitu dalam membimbing, mengajarkan, dan mendidik kalian dengan apa yang belum kalian ketahui, “tentulah kamu mengikuti setan, kacuali sebagian kecil saja di antaramu,” karena manusia dengan tabiatnya adalahzhalim lagi bodoh, dan nafsunya tidaklah menyuruhnya kecuali kepada kejahatan, namun bila ia bersandar kepada Rabbnya dan berpengan teguh denganNya dan ia berjuan dalam hal tersebut, niscaya Rabbnya akan mengasihi dan membimbingnya kepada kebaikandan menjaganya dari setan yang terkutuk.
- Tafsir As-Sa'di (Taysir al-Karim al-Rahman) hlm. 190. Dan juga Tafsir Mahasin Al-Ta'wil Karya Al-Qasimi (5/324-326).
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم