بسم الله الرحمن الرحيم
📚 Kajian Kitab Manhaj Salaf, Karya Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul Hafidzahullah
🎙┃ Ustadz Mohammad Alif, Lc. حفظه الله تعالى
🗓️┃Jum'at, 10 Oktober / 18 Rabi’ul Awal 1447 H
🕰️┃ Ba'da Maghrib
🕌┃ Masjid Al-Qomar - Jl. Slamet Riyadi No. 414 Rel Bengkong Purwosari, Solo
Ciri-ciri dakwah salaf telah dijelaskan sebelumnya:
1. Sikap loyalitas (wala'dan bara') dibangun diatas ittibâ kepada Rasulullah ﷺ.
2. Syiarnya mengikuti dan meneladani Rasulullah ﷺ.
3. Berjalan di atas Pertengahan dalam segala urusan mereka.
4. Mereka adalah orang yang Menjaga Persatuan dan Keteguhan di Atas Kebenaran.
Ciri Manhaj Salaf #5: Mereka Menyibukkan Diri untuk Menegakkan Agama dengan Mencari dan Mengamalkan Ilmu Syar’i
Bagi mereka Ahlussunnah, ilmu berarti mengikuti sunah-sunah. Mereka mengumpulkan ayat-ayat dan hadits-hadist,serta hadits-hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, dan mempelajarinya. Mereka mengikuti pemahaman para Muslim terdahulu, dan tidak menggunakan penafsiran apa pun dalam memahami teks-teks yang menyimpang dari pemahaman para sahabat.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Ilmu yang disyariatkan dan ritual-ibadah yang disyariatkan berasal dari para sahabat Rasulullah. Adapun ilmu-ilmu setelah mereka (para sahabat), maka ilmu tersebut tidak boleh dijadikan landasan pokok, meskipun pemiliknya dimaafkan. Akan tetapi, ia diberi pahala atas ijtihad atau taqlidnya. Barangsiapa yang mendasarkan pembahasan ilmunya—dasar-dasar dan cabang-cabangnya—pada Al-Qur'an, Sunnah, dan hadis-hadis yang diriwayatkan dari para pendahulunya, maka ia telah menempuh jalan kenabian. Demikian pula, barangsiapa yang mendasarkan kehendak, ibadah, amal, dan mendengarkan dasar-dasar amal dan cabang-cabangnya, termasuk keadaan amalan hati dan badan, pada iman, Sunnah, dan tuntunan yang telah ditetapkan Muhammad dan para sahabatnya, maka ia telah mengikuti jalan nubuwah (kenabian). Inilah jalan para imam terdahulu.
Setiap kali Imam Ahmad menyebutkan prinsip-prinsip Sunnah, beliau bersabda: "Ia mengikuti apa yang diikuti oleh para sahabat Rasulullah ﷺ." Beliau menulis kitab-kitab tafsir yang disandarkan kepada Nabi ﷺ, para sahabat, dan para tabi'in.
Beliau juga menulis kitab-kitab hadis dan hadis yang disandarkan kepada Nabi ﷺ, para sahabat, dan para tabi'in. Beliau bersandar pada prinsip-prinsip ini dan cabang-cabangnya dalam karya-karya ilmiahnya, sampai-sampai beliau berkata dalam suratnya kepada Khalifah pada masanya, al-Mutawakkil: "Aku tidak suka membahas hal-hal ini kecuali yang ada di dalam Kitab Allah, atau dalam hadis yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ, para sahabat, atau para tabi'in. Adapun selain dari itu, maka membahasnya tidak terpuji."
Demikian pula, dalam hal zuhud, pemurnian dan kondisi spiritual, dalam kitabnya tentang zuhud, beliau mendasarkan pada apa yang disandarkan kepada para Nabi ﷺ dari Nabi Adam Alaihissalam hingga Muhammad ﷺ, kemudian pada jalan para Sahabat dan Tabi'in, dan beliau tidak menyebutkan orang-orang setelah mereka.
Demikian pula, beliau menggambarkan orang yang menuntut ilmu: menuliskan "apa yang diriwayatkan dari Nabi, kemudian dari para Sahabat, kemudian dari Tabi'in." Dalam riwayat lain: "Kemudian kalian bebas memilih di antara para Tabi'in." Akhir kutipan. (Majmu' al-Fatawa 10/362-364.)
Tidak diragukan lagi bahwa mempelajari perkataan dan perbuatan generasi awal para Sahabat dan Tabi'in, kesepakatan mereka, bahkan perbedaan pendapat di antara mereka, lebih bermanfaat daripada mengetahui perkataan dan amalan-amalan orang-orang setelah mereka. [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 13/23-27]
Jika Anda merenungkannya, Anda akan menemukan bahwa semua sekte dan kelompok umat Muhammad mengklaim berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah. Perbedaan antara sekte dan kelompok ini adalah bahwa masing-masing dari mereka harus mempertimbangkan jalan Rasulullah dan para sahabatnya dan berpegang teguh padanya, karena mereka adalah kelompok yang diselamatkan (Firqah Najiyah) dan kelompok yang menang (Thoifah Mansyurah), Jama'ah, dan jalan orang-orang beriman. Allah ﷻ berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (An-Nisa': 115)
Imam Syafi'i rahimahullah menyatakan dalam kitabnya, Al-Risalah, setelah menyebutkan para sahabat dan memuji keutamaan mereka: "Mereka lebih unggul dari kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara', akal, dan segala hal yang dengannya ilmu diturunkan dan istinbat hukum. Pendapat mereka lebih utama dan lebih tepat bagi kita daripada pendapat kita sendiri, dan Allah Maha Mengetahui. Siapa pun yang kita temui, di negeri kita, menjadi sunnah dari Rasulullah dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui, menurut pendapat mereka, jika mereka bersatu, dan menurut pendapat sebagian mereka, jika mereka terpecah belah. Maka, kami katakan: Jika mereka bersatu, kami terima pendapat mereka. Jika salah seorang dari mereka mengatakan sesuatu dan tidak ada yang berbeda pendapat dengannya, kami terima pendapatnya. Jika mereka berbeda pendapat, kami terima pendapat sebagian mereka, dan kami tidak menyimpang dari pendapat mereka semua." (Al-Madkhal ila Al-Sunan Al-Kubra (hlm. 110)).
Pendekatan ini adalah jalan yang ditempuh oleh para imam agama, dan inilah syariat yang diikuti oleh orang-orang yang mendapatkan petunjuk, yaitu mereka yang mengikuti jalan yang lurus. Inilah ilmu yang jelas dan shahih.
Semoga Allah memberkahi orang yang mengatakan:
Ilmu adalah apa yang Allah firmankan, Rasul-Nya sabdakan, dan para Sahabat katakan. Tidak ada perselisihan tentangnya.
Ilmu bukanlah kamu yang dengan bodohnya mempertentangkan antara Rasul dan pendapat orang bodoh.
Tidak juga kamu yang mempertentangkan karena ketidaktahuan, antara nash dan pendapat seorang ahli fiqih.
Tidak juga kamu yang dengan sengaja menolak nash untuk menghindari kekhawatiran menjadi mujassimah atau Musyabihah.
Al-Auza'i rahimahullah berkata: "Ilmu adalah apa yang diriwayatkan oleh para Sahabat Muhamamd ﷺ. Selain itu bukanlah ilmu." (HR. Ibnu Abd al-Barr dalam Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadluhu (2/29)).
Al-Zuhri -rahimahullah- biasa menuliskan perkataan para Tabi'in, tetapi Salih bin Kaisan tidak sependapat dengannya, dan kemudian menyesali keputusannya untuk meninggalkannya. (Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Taqid al-'Ilm (hlm. 106, 107), dan Ibnu 'Abd al-Barfi dalam Jami' Bayān al-'Ilm wa Fadluhu (1/76, 77), dengan komentar oleh Saudara Muhammad Nasir al-'Ajmi tentang Bayān Fadl 'Ilm al-Salaf (hlm. 69).)
Abu Hanifah al-Nu'man -rahimahullah- mengikuti pendekatan ini.
Ibnu Mubarak -rahimahullah- berkata: Aku mendengar Abu Hanifah Rahimahullah berkata: “Jika bersumber dari Nabi, maka itu ada pada kepala dan mata (sangat dihormati). Jika bersumber dari para sahabat Nabi, kami memilih dari perkataan mereka. Jika bersumber dari para tabiin, kami bersaing dengan mereka.” (Akhbar Abu Hanifah karya al-Simri (hal. 10) dari Abu Yusuf dari Abu Hanifah; Iqaz Hamm Ulī al-Abṣar (hal. 70).)
Imam Malik bin Anas al-Asbahi, Imam Darul Hijrah -rahimahullah- mengikuti pendekatan ini, Semoga Allah meridhoinya.
Imam Malik berkata—dan disebutkan dalam kitabnya Al-Muwatta—: “Kitab ini berisi hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat dan tabi’in, serta pendapat mereka. Aku berbicara berdasarkan pendapatku, berdasarkan ijtihad, dan berdasarkan apa yang kutemukan di kalangan para ulama di negeri kami, dan aku tidak menyimpang dari kelompok mereka dan tidak memilih selain mereka.” Akhir kutipan (Tharib al-Madārik (193/1).).
Demikian juga jalan yang ditempuh oleh Imam Syafi'i rahimahullah. Imam Syafi'i rahimahullah berkata: "Ilmu itu ada tingkatannya:
- Pertama: Al-Qur'an dan Sunnah, jika Sunnah itu shahih.
- Kedua: Ijma' (kesepakatan) tentang hal-hal yang tidak tercantum dalam Al-Qur'an maupun Sunnah.
- Ketiga: Bahwa sebagian sahabat Nabi mengatakan sesuatu, padahal kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi pendapat mereka.
- Keempat: Perselisihan pendapat di antara para sahabat Nabi -radhiyallahu 'anhum-.
- Kelima: Qiyas berdasarkan beberapa tingkatan ini.
Seseorang tidak boleh mengambil ilmu selain dari Al-Qur'an dan Sunnah, jika keduanya ada. Karena, ilmu itu diambil dari tingkatan yang paling tinggi." (al-Madkhal ila al-Sunan al-Kubra (hal. 110).)
Demikianlah pendapat Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah.
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata: "Jika ada hadist tentang pertanyaan tentang suatu permasalahan, kami tidak menerima pendapat para sahabat atau orang-orang setelah mereka yang bertentangan dengannya.
Jika ada perbedaan pendapat tentang suatu permasalahan dari para sahabat Rasulullah, kami memilih dari pendapat mereka dan tidak menyimpang dari pendapat mereka kepada pendapat orang lain."
Jika tidak ada sabda Nabi dan para sahabat, maka kami memilih perkataan para tabi'in..." (Al-Masoudah, hlm. 276).
Muhammad bin Hasan berkata: "Barangsiapa yang mengetahui Al-Qur'an, Sunnah, perkataan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan apa yang telah ditetapkan oleh para fukaha, maka ia diperbolehkan menggunakan pertimbangannya sendiri (ijtihad) dalam perkara yang menimpanya, dan memutuskan serta mengamalkannya dalam shalat, puasa, haji, serta perintah dan larangan lainnya. Jika ia mengerahkan usahanya, mempertimbangkan, dan membuat analogi berdasarkan hal-hal yang serupa, dan sungguh-sungguh dalam berijtihad, maka ia diperbolehkan mengamalkannya, meskipun ia keliru dalam apa yang seharusnya ia katakan. (HR. Ibnu 'Abd al-Barfi dalam Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadluhu (2/61)).
Muhammad bin Hasan juga berkata: "Ilmu itu ada empat macam:
- Apa yang ada di dalam Kitab Allah Al-Qur'an.
- Apa yang ada di dalam Sunnah Rasulullah yang shahih.
- Apa yang disepakati para sahabat -semoga Allah merahmati mereka- dan semisalnya. Demikian pula, apa yang mereka perselisihkan tidak mengurangi keseluruhannya. Jika pilihan didasarkan pada suatu pendapat, maka itu adalah ilmu yang dengannya qiyas dapat dibuat, dan seterusnya.
- Dan apa yang telah disepakati oleh mayoritas ulama dan semisalnya, dan serupa dengannya.
Beliau bersabda: Ilmu tidak akan pernah lepas dari empat hal ini. (Akhir kutipan: Diriwayatkan oleh Ibnu Abd al-Barr dalam Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadluhu (2/26).)
Saya katakan: Perkataan mereka ~semoga Allah merahmati mereka~ telah bulat dalam hal ini. Barangsiapa yang menyimpang darinya, maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari jalan orang-orang beriman, dan Allah Maha Pemberi keberuntungan.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم