Afwan ustadz, jika qurban diniatkan untuk satu keluarga, apakah semua anggota keluarga tidak boleh memotong kuku dan rambut? [Ahmad Sutimi]
Jawaban :
Bismillah walhamdulillah wassholaah was salam ‘ala Rasulillah, waba’du.
Terhitung sejak memasuki bulan Dzulhijah, para pengkurban tidak boleh memotong rambut dan kuku, sampai prosesi pemotongan hewan kurbannya dilaksanakan. Dasarnya adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian telah melihat hilal Dzulhijah (yakni telah masuk satu Dzulhijah, pen) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya. (HR. Bukhori)
Selengkapnya: Keluarga Shahibul Qurban Dilarang Memotong Kuku dan Rambut?
Ada yang bilang begini :
“Keluar rumah berani. Ke pasar berani. Ke ruang publik berani. Giliran ke masjid takut corona.?”
“Tidak berjama’ah ke masjid, tapi masih keluar buat bekerja. Situ waras?!”
“Ke ATM berani, ke pasar berani, ke warung berani…. Giliran ke masjid ga berani takut corona katanya… Antum waras??”
Mari coba kita pelajari dan luruskan.
Komentar-komentar di atas, didasari oleh analogi (qiyas) antara masjid dan pasar. Apakah analogi tersebut sudah tepat?
Tepat tidaknya, silahkan pembaca simpulkan sendiri setelah membaca catatan-catatan berikut :
Sungguh berbeda Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Dia Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Lihatlah manusia, ketika ada orang meminta sesuatu darinya ia merasa kesal dan berat hati. Sedangkan Allah Ta’ala mencintai hamba yang meminta kepada-Nya. Sebagaimana perkataan seorang penyair:
الله يغضب إن تركت سؤاله وبني آدم حين يسأل يغضب
“Allah murka pada orang yang enggan meminta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta ia marah”
Ya, Allah mencintai hamba yang berdoa kepada-Nya, bahkan karena cinta-Nya Allah memberi ‘bonus’ berupa ampunan dosa kepada hamba-Nya yang berdoa. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
يا ابن آدم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان منك ولا أبالي
“Wahai manusia, selagi engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, aku mengampuni dosamu dan tidak aku pedulikan lagi dosamu” (HR. At Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits hasan shahih’)
Sungguh Allah memahami keadaan manusia yang lemah dan senantiasa membutuhkan akan Rahmat-Nya. Manusia tidak pernah lepas dari keinginan, yang baik maupun yang buruk. Bahkan jika seseorang menuliskan segala keinginannya dikertas, entah berapa lembar akan terpakai.
Kehidupan penuh dengan pilihan antara yang baik dan buruk, antara maslahat dan mafsadat. Dan sangat banyak sekali kaidah-kaidah syar’i yang membantu kita untuk menentukan pilihan.
Berikut ini kami ringkaskan kaidah-kaidah dalam memilih yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Makalah ini diringkas dari disertasi pada jurusan Ushul Fiqih Universitas Islam Muhammad Ibnu Saud, Riyadh KSA.
A. Kaidah-Kaidah Memilih Antara Mashlahat dan Mudharat
Kaidah Pertama :
مَصْلَحَةُ أَدَاءِ الْوَاجِبِ أَعْظَمُ مِنْ مَفْسَدَةِ الْوُقُوْعِ فِي الشُّبْهَةِ
Maslahat melakukan hal yang wajib lebih besar dari pada mafsadat (kerusakan akibat) terjatuh dalam syubhat
Zakat Fitrah terdiri dari dua kata: zakat dan fitrah. Secara bahasa, zakat berarti an-namaa’ (tumbuh), az-ziyadah (bertambah), ash-sholah (perbaikan), dan At-Thaharah (mensucikan). Kegiatan mengeluarkan sebagian harta dinamakan zakat, karena bisa menambah harta dengan keberkahan dan membersihkan diri pemiliknya dengan ampunan. [Simak Thilbatut Thalabah 1/227, Tahdzibul Lughah 3/395].
Sementara fitrah artinya aslul khilqah, keadaan awal ketika manusia diciptakan oleh Allah. Allah berfirman,
فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
…Fitrah yang Allah tetapkan, dimana Allah menciptakan manusia sesuai fitrah tersebut… (QS. Ar Rum: 30).
Maksud kalimat “zakat fitrah” adalah zakat untuk badan, jiwa. Karena itu disebut zakat fitrah yang artinya zakat untuk asal penciptaan. (Al-Majmu’ karya An-Nawawi, 6/103).