Bulan Ramadlan adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang diturunkan padanya Al Qur’an, bulan yang terdapat padanya malam yang lebih baik dari seribu bulan, dan setiap malamnya Allah Ta’ala memerdekakan hamba-hambaNya dari api Neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ مَرَدَةُ الْجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجِنَّانِ فَلَمْ يُغْلَقُ مِنْهَا بَابٌ ، وَنَادَى مُنَادٍ : يَا بَاغِىَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِىَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِوَذَلِكَ كُلُّ لَيْلَةٍ.
“Apabila telah masuk malam pertama dari bulan Ramadlan, setan-setan yaitu jin-jin yang durhaka akan diikat, pintu-pintu Neraka akan dikunci dan tidak satupun pintu yang terbuka. Pintu-pintu surga akan dibuka dan tidak satupun pintu yang terkunci. Dan akan ada yang menyeru, “Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah, dan wahai orang yang menginginkan keburukan tahanlah.” Allah memerdekakan hamba-hambaNya dan itu terjadi pada setiap malam.” (HR At Tirmidzi, ibnu Majah dan lainnya).
Kewajiban setiap muslim adalah berlomba-lomba mencari keberkahan bulan ini dengan banyak beramal shalih, agar kita termasuk orang-orang yang dimerdekakan oleh Allah dari api Neraka. Sungguh sangat merugi orang yang keluar dari bulan Ramadlan dalam keadaan tidak mendapat ampunan Allah Ta’ala. Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَقِىَ الْمِنْبَرَ فَلَمَّا رَقِىَ الدَّرَجَةَ الْأُولَى قَالَ آمِيْنَ ثُمَّ رَقِىَ الثَّانِيَةَ فَقَالَ آمِيْنَ ثُمَّ رَقِىَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ آمِيْنَ فَقَالُوا يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْنَاكَ تَقُوْلُ آمِيْنَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالَ لَمَّا رَقِيْتُ الدَّرَجَةَ الأُولَى جَاءَنِي جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ آمِيْنَ ثُمَّ قَالَ شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ فَقُلْتُ آمِيْنَ ثُمَّ قَالَ شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ آمِيْنَ.
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam menaiki mimbar, ketika beliau menaiki tangga yang pertama beliau bersabda, “Aamiin.” Ketika menaiki tangga kedua beliau berucap, “Aamiin.” Ketika menaiki tangga yang ketiga beliau berucap, “Aamiin.” Para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan Aamiin tiga kali.” Beliau bersabda, “Ketika aku menaiki tangga yang pertama, Jibril ‘alaihissalam datang kepadaku dan berkata, “Celaka hamba yang mendapati bulan ramadlan, setelah lepas darinya ternyata ia tidak diampuni dosa-dosanya.” Akupun mengucapkan Aamiin. Kemudian ia berkata, “Celaka hamba yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya namun tidak memasukkannya ke dalam surga. Akupun mengucapkan Aamiin. Kemudian ia berkata, “Celaka hamba yang disebutkan namamu di sisinya tetapi ia tidak bershalawat untukmu. Akupun mengucapkan Aamiin. (HR Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad[1]).
Setiap kita pasti tidak rela bila terkena do’a tersebut, maka tiada jalan kecuali bersungguh-sungguh menjalani ramadlan dengan banyak beramal shalih.
Ulama telah menjelaskan bahwa sujud itu bermacam-macam. Namun apabila kita melihat realita di sekitar kita, ternyata sebagian sujud yang dikerjakan kaum muslimin ada yang tidak disyariatkan. Di bawah ini beberapa macam sujud beserta penjelasan ringkas berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat.
SUJUD DI DALAM SHALAT
Sujud di dalam shalat merupakan salah satu gerakan shalat yang tidak akan sah suatu shalat kecuali dengan adanya sujud tersebut -kecuali shalat jenazah yang memang tidak ada sujud padanya-. Sebab sujud tersebut merupakan salah satu rukun shalat, yang apabila ada salah satu dari rukun tersebut yang ditinggalkan, maka tidak akan sah shalat yang dikerjakan.
SUJUD SAHWI
Sujud sahwi termasuk salah satu sujud yang disyariatkan. Sujud tersebut dilakukan karena seseorang lupa di dalam shalatnya, sehingga terjadi kekurangan, kelebihan atau ada keragu-raguan. Sujud tersebut ada yang disyariatkan untuk dikerjakan sebelum salam atau setelahnya, sesuai dengan kelupaan yang ada.
Bacaan sujud sahwi sama dengan bacaan ketika sujud di dalam shalat. Adapun bacaan masyhur berikut:
سُبْحَانَ مَنْ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَسْهُوْ
“Segala puji bagi Allah yang tidak tidur lagi tidak lalai.” maka al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan bahwa hal tersebut tidak ada asal usulnya di dalam Syariat. [ https://islamqa.info/ar/39399]
Kaedah yang diajarkan berikut adalah di antara kaedah yang menunjukkan bagusnya ajaran Islam dan bagaimana agama ini selalu membawa kemudahan bagi hambanya. Yang menunjukkan kemudahan Islam, niat untuk satu ibadah bisa masuk pada ibadah lainnya. Artinya cukup satu niat, kita bisa mengerjakan dua ibadah sekaligus.
Faedah bermanfaat yang bisa kami susun dari penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di -semoga Allah senantiasa merahmati beliau- mengenai kaedah memasukkan niat ibadah yang satu dalam yang lain. Dalam kitab beliau ‘Qowa’id Muhimmah wa Fawaid Jammah’, beliau mengatakan dalam kaedah ketujuh:
Jika ada dua ibadah yang (1) jenisnya sama, (2) cara pengerjaannya sama, maka sudah mencukupi bila hanya mengerjakan salah satunya. Kasus ini ada dua macam:
Pertama:
Cukup mengerjakan salah satu dari dua macam ibadah tadi dan menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali disyaratkan meniatkan keduanya bersama-sama.
Contoh:
Kedua:
Cukup dengan mengerjakan satu ibadah, maka ibadah yang lain gugur (tanpa diniatkan).
Syariat shalat isyraq datang pada hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ.
“Barang siapa shalat subuh berjamaah (di masjid), lalu duduk berzikir hingga terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, adalah hal itu berpahala seperti pahala satu haji dan satu umrah yang sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. at-Tirmidzi)
Kata at-Tirmidzi, “Ini adalah hadits hasan gharib. Aku telah bertanya kepada Muhammad bin Isma’il (yakni al-Imam al-Bukhari, pen) prihal Abu Zhilal. Ia menjawab, ‘Muqaribul hadits (riwayat haditsnya mendekati).’ Kata Muhammad, ‘Namanya adalah Hilal’.”
Kata al-Albani, “Akan tetapi, jumhur ahli hadits menvonis Abu Zhilal sebagai rawi yang dha’if (lemah riwayatnya). Oleh karena itu, adz-Dzahabi menyatakan dalam kitabnya yang berjudul al-Mughni, ‘Mereka mendha’ifkan Abu Zhilal’.”
Namun, menurut al-Albani terdapat beberapa syahid (penguat) dari riwayat yang lain. Hal itu beliau sebutkan dalam kitab ash-Shahihah (no. 3403) dan menghukuminya sebagai hadits hasan dalam kitab Shahih Sunan at-Tirmidzi (no. 586) dan hasan lighairih (hasan karena penguatnya) dalam kitab Shahih at-Targhib wat Tarhib (no. 464).
Di antara penguatnya adalah hadits Abu Umamah radhiallahu ‘anhu dengan lafadz,
مَنْ صَلَّى صَلاَةَ الصُّبْحِ فِيْ مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيْهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سَبْحَةَ الضُّحَى كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ.
“Barang siapa shalat subuh berjamaah di masjid jami’, kemudian tetap tinggal di tempatnya hingga melaksanakan shalat dhuha (dua rakaat), adalah hal itu berpahala seperti pahala orang berhaji atau berumrah dengan haji dan umrah yang sempurna.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)
Abul Hasan ‘Ubaidullah al-Mubarakfuri menukil dalam kitab Mir’atul Mafatih Syarhu Misykatil Mashabih[1] bahwa ath-Thibi berkata, “Maknanya adalah lalu shalat setelah matahari meninggi seukuran batang tombak agar waktu terlarang telah berakhir. Shalat ini dinamakan shalat isyraq dan merupakan awal shalat dhuha.”
Selengkapnya: Batas Waktu Sholat Isyraq dan Bolehkah Jika Dilakukan Di Rumah?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh rahimahullah berkata tatkala menerangkan hadist tentang kisah Ashabul Ukhdud" (orang-orang yang membuat parit), ketika menyebutkan faidah-faidah yang terdapat dalam kisah tersebut, 'bahwasanya seseorang dibenaran mengorbankan dirinya untuk kepentingan otang banyak, karena pemuda
ini memberitahukan kepada raja cara membunuhnya yaitu dengan mengambil anak panah milik pemuda itu" [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : 'Karena hal ini merupakan jihad fi sabilillah, yang menyebabkan orang banyak beriman, sedangkan pemuda tadi tidak rugi karena ia telah mati, dan memang ia akan mati cepat atau lambat"
Adapun perbuatan sebagian orang yang mengorbankan diri, dengan jalan membawa bom kemudian ia datang kepada kaum kuffar lalu meledakkannya merupakan bentuk bunuh diri -semoga Allah melindungi kita-. Barangsiapa yang melakukan bunuh diri maka ia kekal di Neraka Jahannam selamanya seperti telah isinyalir oleh sebuah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [2], karena orang tersebut melakukan bunuh diri bukan untuk kemaslahatan agama Islam.
Sebab jika ia membunuh dirinya serta membunuh sepuluh, seratus atau dua ratus orang, hal itu tidak mendatangkan manfaat bagi Islam dan tidak ada
orang yang mau masuk Islam, berbeda dengan kisah pemuda tadi. Bahkan boleh adi hal ini akan memunculkan kemarahan di hati para musuh sehingga mereka membinasakan kaum muslimin dengan sekuat tenaga.