Pengertian Iman
Al-Bukhari rahimahullah (wafat tahun 256 H) mengatakan,
وَهُوَ قُوْلٌ وَفِعْلٌ وَيَزِيْدُ وَيَنْقُصُ
“Iman itu terdiri dari ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.” (lihat Sahih al-Bukhari, cet. Maktabah al-Iman hal. 14).
Abu Bakr al-Isma’ili rahimahullah (wafat tahun 371 H) mengatakan,
وَيَقُوْلُوْنَ إِنَّ الإِيْمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَمَعْرِفَةٌ، يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ، مَنْ كَثُرَتْ طَاعَتُهُ أَزْيَدُ إِيْمَانًا مِمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ فِي الطَّاعَةِ
“Mereka -para imam ahli hadits- mengatakan bahwa iman itu terdiri dari ucapan dan perbuatan dan pengetahuan. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang akibat kemaksiatan. Barangsiapa yang banyak ketaatannya maka lebih bertambah imannya daripada orang yang ketaatannya berada di bawahnya.” (I’tiqad A’immat al-Hadits, hal. 15 as-Syamilah).
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah (wafat tahun 386 H) mengatakan,
وأنَّ الإيمانَ قَولٌ باللِّسانِ، وإخلاَصٌ بالقلب، وعَمَلٌ بالجوارِح، يَزيد بزيادَة الأعمالِ، ويَنقُصُ بنَقْصِها، فيكون فيها النَّقصُ وبها الزِّيادَة، ولا يَكْمُلُ قَولُ الإيمانِ إلاَّ بالعمل، ولا قَولٌ وعَمَلٌ إلاَّ بنِيَّة، ولا قولٌ وعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلاَّ بمُوَافَقَة السُّنَّة.
“Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al-Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 47)
Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah (wafat tahun 600 H) mengatakan,
والإِيْمَانُ بِأَنَّ الإِيْمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ ، يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ
“Dan mengimani bahwasanya iman itu mencakup ucapan, perbuatan, dan keinginan. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” (Tadzkirat al-Mu’tasi karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 293).
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (wafat tahun 620 H) mengatakan,
وَالْإِيمَانُ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ, وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ وَعَقْدٌ بِالْجَنَانِ, يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ, وَيَنْقُصُ بِالْعِصْيَانِ
“Iman adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, keyakinan dengan hati. Ia dapat bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” (Lum’at al-I’tiqad al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad, lihat Syarah Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 98)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) mengatakan,
وَقَدْ حَكَى غَيْرُ وَاحِدٍ إجْمَاعَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْحَدِيثِ عَلَى أَنَّ الْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ . قَالَ أَبُو عُمَرَ بْنُ عَبْدِ الْبَرِّ فِي ” التَّمْهِيدِ ” : أَجْمَعَ أَهْلُ الْفِقْهِ وَالْحَدِيثِ عَلَى أَنَّ الْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَلَا عَمَلَ إلَّا بِنِيَّةِ وَالْإِيمَانُ عِنْدَهُمْ يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ وَالطَّاعَاتُ كُلُّهَا عِنْدَهُمْ إيمَانٌ إلَّا مَا ذُكِرَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابِهِ فَإِنَّهُمْ ذَهَبُوا إلَى أَنَّ الطَّاعَةَ لَا تُسَمَّى إيمَانًا قَالُوا إنَّمَا الْإِيمَانُ التَّصْدِيقُ وَالْإِقْرَارُ وَمِنْهُمْ مَنْ زَادَ الْمَعْرِفَةَ وَذَكَرَ مَا احْتَجُّوا بِهِ . . . إلَى أَنْ قَالَ : وَأَمَّا سَائِرُ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ وَالْآثَارِ بِالْحِجَازِ وَالْعِرَاقِ وَالشَّامِ وَمِصْرَ مِنْهُمْ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ والأوزاعي وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ راهويه وَأَبُو عُبَيْدٍ الْقَاسِمُ بْنُ سَلَامٍ وداود ابْنُ عَلِيٍّ والطبري وَمَنْ سَلَكَ سَبِيلَهُمْ ؛ فَقَالُوا : الْإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَهُوَ الْإِقْرَارُ وَاعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ مَعَ الْإِخْلَاصِ بِالنِّيَّةِ الصَّادِقَةِ . قَالُوا : وَكُلُّ مَا يُطَاعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ مِنْ فَرِيضَةٍ وَنَافِلَةٍ فَهُوَ مِنْ الْإِيمَانِ وَالْإِيمَانُ يَزِيدُ بِالطَّاعَاتِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعَاصِي وَأَهْلُ الذُّنُوبِ عِنْدَهُمْ مُؤْمِنُونَ غَيْرُ مُسْتَكْمِلِي الْإِيمَانِ مِنْ أَجْلِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّمَا صَارُوا نَاقِصِي الْإِيمَانِ بِارْتِكَابِهِمْ الْكَبَائِرَ
“Tidak hanya satu ulama yang menukilkan ijma’ Ahlus Sunnah dan Ahli Hadits yang menegaskan bahwa iman itu mencakup ucapan dan amal perbuatan. Abu Umar yaitu Ibnu Abdil Barr mengatakan di dalam at-Tam-hid : para fuqaha’/ahli agama dan ahli hadits sepakat bahwa iman itu meliputi ucapan dan perbuatan, dan tidak ada amal tanpa niat. Iman itu menurut mereka bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang akibat melakukan kemaksiatan. Segala macam ketaatan dalam pandangan mereka adalah -bagian dari- iman, kecuali pendapat yang disebutkan dari Abu Hanifah dan para pengikutnya yang mengatakan bahwa ketaatan tidak disebut iman. Mereka mengatakan bahwa iman itu hanya terbatas pada tashdiq/pembenaran hati dan ikrar/pengakuan lisan saja. Ada pula di antara mereka yang menambahkan unsur ma’rifah. Kemudian dia menyebutkan dalil-dalil yang mereka gunakan… sampai akhirnya dia mengatakan : Adapun segenap fuqaha’/ahli agama dari kalangan ahli ra’yi dan para pakar hadits di negeri Hijaz, Iraq, Syam, dan Mesir, di antara mereka terdapat Malik bin Anas, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i, as-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Dawud bin Ali, at-Thabari serta para ulama yang meniti jalan mereka, bahwa mereka semua mengatakan iman itu mencakup ucapan dan perbuatan -ucapan lisan yaitu dengan ikrar-, keyakinan di dalam hati, dan amal dengan anggota badan yang disertai dengan niat yang tulus dan ikhlas. Mereka mengatakan : Segala sesuatu yang boleh dijadikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla baik yang hukumnya wajib ataupun sunah maka itu adalah bagian dari iman. Iman bertambah karena ketaatan dan berkurang akibat kemaksiatan. Sedangkan menurut mereka, para pelaku dosa besar adalah orang-orang yang beriman yang imannya tidak lengkap akibat dosa yang mereka perbuat. Mereka menjadi orang-orang yang berkurang imannya gara-gara dosa-dosa besar yang mereka lakukan…” (Majmu’ al-Fatawa [2/127] as-Syamilah)