بسم الله الرحمن الرحيم
Iman kepada hari Akhir/hari kemudian, yang berarti mengimani semua peristiwa yang diberitakan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terjadi setelah kematian, adalah salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan kebenaran agama-Nya.
Bahkan karena tingginya kedudukan iman kepada hari akhir, Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam banyak ayat al-Quran sering menggandengkan antara iman kepada-Nya dan iman kepada hari akhir. Hal ini dikarenakan, orang yang tidak beriman kepada hari akhir maka tidak mungkin dia beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sebab orang yang tidak beriman kepada hari akhir dia tidak akan mengerjakan amal shalih, karena seseorang tidak akan mengerjakan amal shalih, kecuali dengan mengharapkan balasan kemuliaan dan karena takut siksaan-Nya pada hari pembalasan kelak.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan sifat orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhir dalam firman-Nya,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلا الدَّهْرُ
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa (waktu).” (Qs. al-Jaatsiyah: 24)[1].
Diangkatnya Nabi Isa dan akan turunnya beliau di akhir zaman merupakan aqidah para shahabat, para tabi’in, para ulama serta para imam Ahlus Sunnah sepanjang zaman.
Ibnu Katsir berkata: “Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah bahwa Nabi Isa akan turun sebelum hari kiamat sebagai imam yang adil dan hakim yang bijaksana (Tafsir Ibnu Katsier, juz 7 hal. 223)
Berkata Shiddiq Hasan Khan: “Hadits-hadits tentang turunnya Isa sangat banyak. Telah disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani, di antaranya ada 29 hadits antara shahih, hasan dan hadits lemah yang terdukung. Di antaranya ada yang disebut bersama kisah Dajjal, ada pula yang disebut bersama hadits-hadits tentang Imam Mahdi, ditambah lagi atsar-atsar yang diriwayatkan oleh para shahabat yang tentunya memiliki hukum marfu’ sampai kepada Rasulullah, karena perkara Dajjal bukanlah masalah ijtihad”. Kemudian beliau menyebutkan semua hadits tentang Dajjal. Setelah itu beliau berkata: “Seluruh apa yang kami nukilkan ini telah mencapai derajat mutawatir sebagaimana dipahami oleh orang-orang yang memiliki ilmu” (Al-Idza’ah, hal. 160, melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyratu as-Sa’ah)
Telah ditulis oleh para ulama hadits tentang Isa, ternyata didapati dari 25 para shahabat dinukil dari mereka oleh 30 tabiin dan dinukil dari tabi’in oleh atba’ut tabi’in lebih banyak lagi.
Berkata Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq al‘Adhim Abadiy: “Telah mutawatir berita-berita dari Nabi tentang turunnya Isa dari langit dengan jasadnya ke bumi ketika telah dekat hari kiamat. Ini merupakan madzhab ahlus sunnah. (Aunul Ma’bud, 11/457)
Berkata Syaikh Ahmad Syakir: “Turunnya Isa di akhir zaman adalah perkara yang tidak diperselisihkan sedikit pun oleh kaum muslimin, karena tersebutnya berita-berita yang shahih dari Nabi tentangnya. Ini perkara yang sudah dimaklumi dalam agama secara aksiomatis, dan tidak beriman orang yang mengingkarinya. (Footnote Tafsir ath-Thabari dengan tahqiq Mahmud Syakir, cet. Daarul Ma’arif, Mesir, juz 6 hal. 460).
Selengkapnya: Aqidah Para Ulama tentang turunnya Nabi Isa 'alaihissalam
Ngalap (mencari) berkah merupakan kecenderungan manusiawi semenjak nenek moyang bangsa manusia generasi pertama. Bahkan berkah adalah kebutuhan setiap insan. Demam ngalap berkah menjadi trend turun temurun disemua lapisan penduduk bumi hingga kini, di zaman moderen yang super canggih dan hubungan lintas dunia semakin global. Adakah ajaran Islam sejalan dengan arus tradisi ini dan memperkenankan orang ngalap berkah?.
Pengertian Berkah
Berkah berasal dari bahasa Arab `barakah`. Artinya, memiliki banyak kebaikan dan bersifat tetap -terus menerus-. Diambil dari kata `birkah` yang berarti tempat berhimpunnya air. Dan itu berbeda dengan tempat mengalirnya air karena dua hal : 1- jumlahnya yang banyak dan 2- sifatnya yang tetap.[1]
Sementara ada juga yang mengatakan, barakah/berkah ialah adanya kebaikan ilahi secara tetap pada sesuatu. Demikian yang dikatakan oleh ar-Raghib al-Ashfahani.[2] Dengan demikian, apabila sesuatu dikatakan berkah, artinya sesuatu itu memiliki banyak kebaikan yang bersifat tetap, karena dijadikan demikian oleh Allah.
Dan ngalap/mencari berkah, berarti mencari kebaikan atau manfaat melalui sesuatu yang diduga banyak memiliki berkah. Sesuatu itu bisa berbentuk pribadi manusia, benda, tempat atau waktu. Persoalannya, bisakah kegiatan tersebut dibenarkan oleh Islam?.
Mengimani syafa’at dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat adalah termasuk salah satu prinsip dasar aqidah (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tercantum dalam dalam kitab-kitab aqidah para imam Ahlus Sunnah.[1]
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “(Termasuk landasan pokok Islam adalah kewajiban) mengimani syafa’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) kepada suatu kaum (dari orang-orang muslim sehingga) mereka dikeluarkan dari neraka setelah mereka terbakar (api neraka) dan menjadi arang, kemudian Allah memerintahkan agar mereka dimasukkan ke dalam sungai di depan pintu surga, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits, sesuai dengan kehendak Allah.”[2]
Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “(Termasuk landasan pokok Islam adalah kewajiban) mengimani syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang berbuat dosa dan salah (dari kaum muslimin) pada hari Kiamat, juga di atas ash-shiraath (jembatan yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam), dan (dengan syafa’at) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan mereka (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) dari dalam neraka Jahannam. Masing-masing Nabi memiliki syafa’at, demikian pula para shiddiq, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh…”[3]
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi berkata, “Syafa’at yang Allah simpan untuk kaum muslimin (di akhirat nanti) adalah benar, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.“[4]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Kita (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) mengimani (membenarkan) syafa’at (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) bagi orang-orang yang masuk neraka dari kalangan kaum mukminin sehingga mereka keluar dari neraka. Syafa’at ini bisa dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi-nabi lainnya, orang-orang yang beriman (yang shaleh) dan para malaikat (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengeluarkan dari neraka orang-orang (yang berbuat dosa) dari kaum mukminin tanpa syafa’at, tapi dengan karunia dan rahmat-Nya.”[5]
Selengkapnya: Mengimani Syafa’at Allah - Termasuk Prinsip Dasar Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah